Hetalia: Axis Powers - Taiwan

Kamis, 24 Juli 2014

Takdirkah atau Hanya kebetulan?

          Kenalin nama gue Freya. Gue duduk di bangku kelas dua SMA. Katanya masa-masa SMA itu masa-masa yang mengasyikkan, penuh dengan kenangan yang nggak bakal terlupakan. Yang jelas karena masa SMA itu identik dengan cerita cinta anak remaja. Tapi sampai saat ini pun gue belum ngrasain masa-masa itu. Gue udah terlalu nyaman dengan dunia gue. Boleh dibilang gue nggak terlalu mikirin hal itu. Gue lebih suka menghabiskan waktu gue sama temen-temen gue. Emang sih kadang-kadang ngrasa iri sama mereka yang bisa ngrasain masa-masa itu. Masa-masa cinta monyet, katanya. Tapi rasa iri itu hanya hinggap dalam sekejap. Nggak terlalu lama berdiam diri di benak gue. Tapi bukan berarti gue nggak pernah ngrasain yang namanya suka sama seseorang. Gue manusia yang normal. Gue juga pernah ngrasain gimana cinta pertama gue yang bahkan sampai saat ini rasa gue masih bertahan walaupun gak terbalaskan, tapi lebih tepatnya belum terbalaskan. Karena gue tipikal orang yang nggak mau gembor-gembor tentang apa yang gue rasain. Gue lebih suka jadi pemuja rahasia. Walaupun sedikit menyiksa. Jadi alasan itulah mungkin dia, orang yang gue suka nggak pernah tahu ada gue di sini yang suka sama dia dengan waktu yang cukup lama.
          Cinta pada pandangan pertama. Itu yang membuat gue ngrasain gimana rasanya menyukai seseorang. Gue ketemu dia waktu SD. Saat gue kelas empat SD dan dia kelas enam SD. Ya saat itulah gue mulai suka sejak pandangan pertama. Nggak ada yang istimewa. Hanya teman lawan main dalam sebuah drama. Yang sama-sama bermain dalam sebuah drama kecil. Ya awalnya hanya sekedar rasa kagum. Karena terlalu kecil untuk seorang anak SD mulai suka sama teman lawan jenisnya. Gue kagum karena gue suka cara dia memainkan peran. Walaupun nggak sehebat temen-temennya tapi menurut gue dia udah termasuk jago. Gimana nggak jago? Kita dikasih waktu tiga minggu untuk menghafalkan naskah yang lumayan tebel. Nggak hanya menghafal naskah, tapi juga bermain peran dengan baik. Menghayati peran tersebut, menguasai panggung, harus bisa berinteraksi dengan penonton.Itu semua harus kita kuasai dalam waktu tiga minggu. Yang membuat gue semakin kagum, dalam waktu satu minggu dia bisa hafal luar kepala dialog peran yang dia mainkan. Dan dia juga berhasil menghayati peran tersebut. Luar biasa menurut gue.
          Dalam drama tersebut gue dapet peran sebagai salah satu tokoh pewayangan jawa. Dia dapet peran sebagai salah satu pahlawan super yang namanya diplesetkan. Dari situlah kedekatan kita mulai terbentuk. Gue mulai ngrasa nyaman sama dia. Sampai-sampai kita kayak kakak adik Gue terbiasa manggil dia abang. Kalo gue butuh bantuan dia selalu ada buat gue. Begitu sebaliknya. 
           Kedekatan itu mulai merenggang disaat akan dilaksanakannya ujian nasional. Gue bisa ngertiin dia. Karena sebelumnya dia pernah bilang ke gue.
           "Abang minta maaf kalo nanti waktu kamu butuh bantuan, abang gak bisa setiap saat bantuin kamu. Kamu kan tau sebentar lagi abang ada ujian nasional."
           "Iya gakpapa. Semangat ya, Bang."
           Ujian Nasional telah berlangsung. Kita mulai jarang bareng lagi. Karena dia udah vacum dalam bermain drama. Secara, dia udah lulus. Gue masih harus melanjutkan dua tahun lagi buat lulus. Setelah kelulusan itu gue nggak pernah lagi denger kabar dari dia. 
           Waktu zaman gue SD belum kenal yang namanya handphone. Lagian buat gue barang itu belum terlalu penting. Buat menghubungi orangtua gue saat gue minta jemput sekolah? Gak perlu. Karena udah ada jemputan dari sekolah yang setia mengantar dan menjemput gue sekolah. Tapi ada juga temen gue yang bawa handphone, salah satunya sahabat gue. Dia juga tahu gue sempet deket sama abang gue itu (abang ketemu gede). Dia sempet bilang ke gue
           "Kenapa kamu nggak coba buat menghubungi dia, sms atau telfon gitu?"
           "SMS? Telfon? Handphone aja nggak punya. Lagian kalo punya pun aku nggak punya nomer hpnya."
           "Ya minta dong."
           "Mana sempet kepikiran kayak gitu. Handphone aja nggak punya."
           Gue nyerah. Karena gue juga udah berusaha cari info tentang dia. Lagian gue ngrasa, rasa suka gue hanya sebatas kagum. Nggak lebih.
            Masa-masa SD gue berakhir sudah. Kini seragam merah putih pun tergantikan oleh biru putih. Ya, sekarang gue jadi anak SMP, bukan lagi anak SD. Masa Orientasi Siswa yang melelahkan, menjengkelkan, mengasyikkan akhirnya berakhir sudah. Saatnya untuk pulang. Waktu gue melewati ruang kelas sembilan kayak ada yang ngikutin gue di belakang. Entah ngikutin gue atau nggak gue nggak tahu Yang jelas ada yang jalan di belakang gue. Karena gue penasaran, gue nengok ke belakang. Betapa terjekutnya gue. Ternyata orang yang selama ini gue cari-cari satu sekolah lagi sama gue waktu SMP. Apa respon guew aktu ketemu dia? Gue ngrasa seneng, gembira, rasanya gue pengen lari meluk dia. Tapi itu nggak mungkin. Jantung gue sontak berdetak nggak beraturan. Rona wajah gue pun berubah seketika. Sayangnya dia nggak ngliat gue. Walaupun dia di belakang gue tapi jarak kita lumayan jauh. Entah kebetulan atau gimana gue nggak ngerti. Nggak masalah dia nggak ngliat gue. Yang penting gue sekarang bisa lihat dia lagi. Tapi lagi-lagi setiap kali kita bertemu kita akan berpisah. Gue cuma bisa pasrah. Ternyata selama ini gue nggak cuma kagum. Lebih tepatnya ada rasa suka yang terselip di antara kekaguman itu. Tapi gue nggak bisa apa-apa.
             Terakhir kali gue ketemu dia waktu gue pulang sekolah. Setiap gue pulang pasti nglewatin SMA dia. Dan kebetulan waktu itu kita dipertemukan di waktu yang nggak gue duga. Di dalam angkot. Gue baru tahu juga kalo dia sekarang SMAnya di situ. Gue bingung mau nyapa apa dan gimana. Akhirnya cuma sebaris senyum yang gue kasih ke dia. Nggak ada percakapan sama sekali. Sampai dia yang membuka duluan sebuah percakapan.
            "Baru pulang, Dek?"
            "Iya Mas. Barusan pulang juga?" jawabku terbata-bata. Karena bingung harus pake panggilan mas atau bang, yang akhirnya kata mas yang gue keluarin.
            "Iya. Kok sore banget Dek?"
            "Iya soalnya ada kumpul OSIS tadi."
            "Oh gitu."
            "Mas sendiri? Kok baru pulang?"
            "Iya ada latihan paskib tadi."
            "Oh."
            Percakapan kami hanya terhenti sampai di situ. Setelah itu kami saling membisu. 
            "Duluan ya Dek."
            "Oh ya Mas."
            "Hati-hati di jalan"
            "Iya Mas. Kamu juga"
            Itu percakapan kami terakhir.
            Sekarang gue kelas satu SMA dan dia kelas tiga SMA. Lagi-lagi kita dipertemukan di sekolah yang sama. Ya kita satu SMA lagi. Jarak usia kita terpaut dua tahun. Mungkin karena itu setiap gue memulai sekolah baru dia meninggalkan sekolah yang lama. Gue sempat berpikiran jelek. Menyalahkan takdir yang Tuhan berikan. Kenapa kita harus terpaut dua tahun sih. Coba kalo kita terpaut satu tahun aja pasti gue bisa punya waktu untuk dekat sama dia. Tapi pikiran jelek itu cepet-cepet gue enyahin dari otak gue. Gue nggak bisa nyalahin Tuhan. Tuhan yang lebih ngerti dari gue. Kalo gue dan dia terpaut satu tahun belum tentu kita dipertemukan. Dan mungkin saat ini bukan waktu yang tepat buat kita ketemu. Gue juga nggak ngerti semua ini takdirkah atau hanya kebetulan? Hanya Tuhan yang tahu. Gue cuma minta sama Tuhan kalo gue dan dia dipertemukan lagi kelak. Semoga bukan lagi seperti saat ini dan kemaren-kemaren. Yang setiap kali dipertemukan kita bakal pisah lagi. Gue percaya rencana Tuhan akan lebih indah dari yang kita inginkan. Semoga. 

Rabu, 23 Juli 2014

Untuk Si Pahlawan Jawa, Suparman:)


         Tuhan entah kenapa perasaan ini berubah seketika setiap melihat dia ada di dekatku. Jantung ini berhenti seketika. Gugup. Senang. Malu. Perasaan itu bercampur aduk menjadi satu. Tuhan apa benar aku jatuh cinta? Atau hanya sekedar rasa suka yang hinggap begitu saja dan akan hilang dengan sendirinya?
Rasa senang yang dengan begitu saja muncul ketika aku tahu dia ada di dekatku. Dengan spontan aku mendekat dan menyapanya "hai". Dia pun membalasnya tanpa ragu. Sapaan itu berlangsung jabat tangan, dan darimana asalnya tanganku dan tangannya kini bersentuhan. Dan kedua tangan kita berayun-ayun. Ayunan ke depan dan ke belakang. Hingga kami tak sadar bahwa banyak yang menyaksikan kami.
        Aku baru sadar ternyata dari SD sampai SMA pun kami satu sekolah. Ya SD kami adalah SD swasta di sekitar tempat tinggal kami. Kami memang saling mengenal, saling tahu satu sama lain. Kami juga sempat dekat waktu aku kelas 3 dan dia kelas 5. Kedekatan itu karena kita pernah beradu akting dalam satu drama yang mengharuskan kita menjadi lawan main. Aku menjadi tokoh pewayangan dan dia menjadi pahlawan yang namanya diplesetkan ke dalam bahasa jawa. Dari situlah kita mulai dekat. Namun kedekatan itu terputus karena dia masuk SMP dan aku masih duduk dikelas 5 SD.
        Awalnya aku tak menyangka bahwa kita berada dalam satu sekolah yang sama lagi di SMP. Aku baru sadar saat aku akan pulang sekolah. Aku melihat dia. Aku familiar terhadap wajahnya. Sepertinya aku mengenalnya. Kulihat nama yang tertera di dada sebelah kirinya. Benar dugaanku bahwa itu dia. Sangat senang. Itulah perasaan yang kurasakan saat itu. Akhirnya kita dipertemukan lagi. Sayangnya setiap kali kita dipertemukan setiap itulah kita akan terpisah lagi. Ya aku baru saja masuk ke sekolah itu. Dan dia akan lulus. Kenapa selalu begitu?
        Dua tahun, waktu yang cukup lama. Setelah selama itu kita tak pernah bertemu, Tuhan mempertemukan kita lagi. Aku bertemu dia waktu aku naik angkutan. Aku memakai seragam biru putihku dan kamu memakai seragam putih-putihmu. Canggung rasanya ingin membuka percakapan terlebih dahulu. Hanya sebaris senyum yang kuberikan kepadanya. Tak sia-sia. Dia pun membalasnya. Senyum yang manis. Akhirnya dia yang memulai pembicaraan
        "Baru pulang dek?" tanyanya malu-malu.
        "Iya mas. Baru pulang juga?"
        "Iya."
        Percakapan itu terus berlanjut hingga dia turun dari angkutan umum. Perasaan ini masih sama. Gugup, senang, malu, bingung, canggung. Tak berubah sama sekali.
        Siapa sangka jika aku diterima di sekolah yang sama dengannya lagi? Bosankah? Tidak sama sekali. Justru rasa senang yang hinggap di hatiku. Lagi-lagi waktu terasa begitu singkat. Aku baru saja masuk dia akan lulus. Kenapa? Setiap kali bertemu maka kami akan berpisah. Mungkin memang ini jalannya. Aku hanya bisa berdoa jika suatu saat nanti kita dipertemukan lagi dan setiap pertemuan kita akan berpisah, Tuhan aku ingin di waktu yang sempit itu izinkan kami bertemu dan menghabiskan waktu kami yang singkat ini agar kami dapat membuat momen yang tak terlupakan untuk kami. Semoga.

Dari penggemar setiamu wahai Suparman
sekaligus lawan mainmu dalam sebuah drama 6tahun lalu.