Buku adalah
jendela dunia, untuk dapat membukanya kita harus membaca. Banyak gagasan
informasi yang dituangkan bahwa dengan membaca kita bisa mendapat banyak
pengetahuan darimanapun. Namun minat akan membaca masayarakat Indonesia saat
ini sangat kurang. Mereka lebih tertarik menonton televisi daripada membaca
buku. Terbukti bahwa pada tahun 2015, kajian yang dilakukan oleh Perpustakaan
Nasional, minat baca masyarakat menunjukkan kategori rendah yaitu 25,10%. Bukti
lainnya, sastrawan Indonesia, Taufik Ismail melakukan pengkajian bahwa di luar
negeri mewajibkan membaca buku setiap tahunnya. Di Amerika Serikat tepatnya di
Sekolah Menengah Atas mewajibkan siswanya membaca sebanyak 32 buku. Di SMA
Belanda dan Perancis sebanyak 30 buku. Sedangkan di Indonesia sendiri mewajibkan
membaca 0 buku. Itu tandanya, bahwa negara kita jauh tertinggal dengan negara
lain.
Rendahnya
minat baca tentu saja tidak lepas dari adanya berbagai sebab. Keadaan ini jika diterus-teruskan,
slogan “Budayakan Membaca” hanya akan menjadi wacana. Masyarakat lebih senang menggunakan
sesuatu yang lebih praktis. Termasuk media baca yang dalam sejarahnya bermula
dari batu sabak sampai lahirnya kertas masih saja dianggap kurang praktis.
Keberadaan internet mempermudah akses informasi elektronik dalam bentuk audio
dan visual menjadikan masyarakat malas membaca khususnya buku. Peserta didik
juga lebih suka memenuhi kantin daripada pergi ke perpustakaan. Banyak diantara
masyarakat yang lebih suka pergi ke tempat nongkrong yang mewah daripada
mengikuti perkembangan buku dan mengoleksinya. Kurangnya perhatian dari
pemerintah mengenai konten bacaan serta fasilitas dalam upaya meningkatkan
minat baca. Namun bentuk nyata perlu dicontoh seperti yang diterapkan oleh
Pemkod Surabaya. Dalam upaya membangun taman flora yang terletak di Jalan
Bratan, taman tersebut tidak hanya dilengkapi dengan internet tetapi juga
dibangun perpustakaan. Gagasan pembuatan berbagai taman yang disertai
pembangunan perpustakaan akan berakibat tumbuhnya minat baca. Dengan skala kecil
karena yang mengonsumsi buku tersebut hanya pengunjung taman.
Perlu belajar
sejarah dari Kaisar Jepang pada masa perang dunia ke – II yaitu Kaisar Hirohito
yang tidak langsung menanyakan berapa kerugian yang ditimbulkan setelah
hiroshima dan nagasaki diledakkan. Tetapi Kaisar menanyakan berapa banyak guru
yang masih selamat dan berapa banyak buku yang masih bisa diselamatkan.
Keluarga
sebagai tempat pendidikan primer dan paling awal diterima oleh anak serta oleh
anggota keluarga yang lain menyediakan fasilitas untuk kemudahan membaca.
Contoh memprioritaskan pembelian buku sebagai kebutuhan pokok setiap bulannya,
sehingga buku yang terkumpul dapat menjadi bahan bacaan selain untuk pengisi
waktu luang. Akan menjadi menarik ketika setiap keluarga mempunyai perpustakaan
mini di rumah. Tidakhanya terpaku ketersediaan buku fiksi dan non-fiksi. Selain
buku, sumber bacaan lain seperti koran, majalah ataupun kitab suci bisa sebagai
pelengkap.
Pemerintah pun
harus ikut serta dalam upaya meningkatkan minat baca. Sebagai pihak yang
bertanggung jawab merancang undang – undang kebijakan untuk mewajibkan membaca
buku perlu adanya. Mempermudah keluarnya izin untuk buku yang bermuatan
edukatif, Sehingga produksi serta kuantitas buku akan meningkat. Fasilitas yang
diberikan juga harus memadai. Memperbanyak perpustakaan masuk desa. Serta
memperluas distribusi buku menuju daerah terpencil. Sekaligus menggalakkan
pemberantasan buta aksara.
Dengan adanaya
dukungan dan partisipasi dari pihak – pihak tersebut, kegiatan membaca tidak
hanya akan berhenti sebagai kebutuhan melainkan menjadi hal yang membudaya.
Dari berbagai
contoh yang telah dilakukan di berbagai negara, seharusnya Indonesia pun mampu
melakukan hal yang sama guna meningkatkan minat baca. Dengan sikap optimis
bahwa nantinya masyarakat Indonesia akan gemar membaca.