Hetalia: Axis Powers - Taiwan

Jumat, 20 Juni 2014

Hai Tuan Si Pemain Keyboard

Hari ini Tuhan mempertemukan kita lagi. Setelah tiga tahun tak bertemu. Ada yang berubah darimu. Postur tubuhmu kini agak gemukan. Namun tak terlalu gemuk. Kau terlihat tampan. Rambut juga terlihat rapi. Tak seperti dulu. Rambut acak-acakan. Postur tubuh yang terlalu cungkring seperti kurang gizi. Pakaian yang semrawut. Namun sekarang, kau terlihat berwibawa. Postur tubuhmu kini sudah berisi. Rambut tertata rapi. Pakaian seperti orang kantoran. Aku lebih suka gayamu sekarang.
Awalnya aku tak terlalu memperhatikanmu. Sempat aku merasa pangling dengan raut wajahmu. Namun setelah aku lirik beberapa kali, sepertinya aku familiar dengan wajah itu. Sepertinya kita pernah bertemu. Ya, ternyata kamu.
Entah kenapa perasaan ini jadi berubah setelah tahu kalau itu benar kau. Seketika hati ini berbunga-bunga. Seperti sesorang yang telah kehilangan sesuatu yang berharga dan dia menemukannya lagi. Dan seketika itu pula aku berusaha mencuri-curi pandangmu. Entah kau tahu atau tidak aku tak peduli. Aku merasa senang karena bisa bertemu denganmu lagi. Ada yang berbeda di hati ini.
Entah hanya perasaanku saja yang merasakan atau kau juga merasakan, sepertinya kau juga sempat mencuri pandang sedikit kepadaku. Apa benar? Sepertinya begitu. Apa yang kau pikirkan? Apa kau mengenaliku? Apa kau pangling terhadapku? Apa kau berpikir aku banyak perubahan. Semula hanya seorang anak yang berbadan kecil kurus. Dan sekarang tumbuh menjadi dewasa dan berbadan besar. Apa itu yang ada di dalam pikiranmu? Mungkin saja. Hanya kau dan Tuhan yang tahu isi hatimu.
Apa kau ingat enam tahun yang lalu, kita sempat bertengkar konyol hanya karena kau menginginkan aku menjadi felkomender (Sang Dirijen) dalam sebuah paduan suara, dan aku menolak. Aku bilang kepadamu bahwa aku tak bisa melakukannya. Dan kamu bilang "Jangan bilang nggak bisa kalau kamu belum mencoba. Ayo lakukan!" Dengan nada yang sinis dan sedikit membentak kau berkata begitu terhadapku. Aku tak suka dibentak ataupun disinisi. Jika aku diperlakukan seperti itu maka aku akan membenci orang itu. Ya seketika itu aku sangat benci padamu. Namun apa daya, setelah lama bersama karena memang diharuskan seperti itu karena kita harus berlatih bersama, sepertinya perasaanku berubah. Perasaan benci ini berubah menjadi perasaan suka. Awalnya aku menolak hatiku agar tak menyukainya, karena pada kenyataannya aku membencinya. Mungkin benar pepatah mengatakan "Jangan terlalu membenci orang karena suatu saat nanti dialah orang yang kau cintai" Akhirnya aku menyerah dan mengakui kepada diriku sendiri bahwa memang aku menyukaimu. Kunikmati hari-hariku saat bersamamu. Mungkin kau tak pernah menyadarinya. Tapi terkadang aku merasa jijik karena penampilanmu yang membuatku risih. Penampilan yang semrawut. Namun tak bisa kupungkiri bahwa hati ini telah jatuh, jatuh kepadamu. Dan sampai saat ini pun mungkin aku masih menyukaimu. Mungkin. Yang jelas aku merasa sangat senang bisa bertemu denganmu. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa bertemu denganmu lagi. Dan kita saling berbincang-bincang, bahkan mungkin bisa menjadi lebih akrab lagi. Semoga :).


Dari seseorang yang dulu pernah kau paksa menjadi Felkomender
(Sang Dirijen Paduan Suara) dan menjadi pertengakaran konyol.

Selasa, 10 Juni 2014

Pemuja Rahasia


Senikmat seduhan pertama yang kuberikan pada aroma kopi saat senja tiba, rindu yang selalu datang membelenggu sang waktu pun selalu aku nikmati. Tak peduli hatiku pilu menahan rindu yang kian tak menentu. Andai mengucap rindu semudah bibir mengecap gula, sudah sejak dulu aku katakan. Biarlah hatiku menampung perihnya rasa yang tak terobati, seberapapun sakitnya, tetap kurasakan keindahannya. Indah, seindah langit di ujung barat saat sang raja siang mulai hilang dilahap sang waktu. Kubiarkan rasa rindu ini menggerogoti tawaku. Sungguh, bagiku tak ada yang lebih membahagiakan daripada menikmati rindu yang selalu menghampiriku. Pun tak ada yang lebih menyakitkan daripada menahan rindu yang kupunya. Keberanianku tak pernah membawaku datang padamu, untuk sekedar mengucap rindu, meski hanya lewat senyuman di kedua mata kita, saat kita saling tatap. Karena yang kutahu, saat kedua mata kita saling beradu, bibir ini pun bibirmu tak mampu berkata apa-apa. Tangan ini pun tanganmu tak bisa berbuat apa-apa. Yang kutahu, hanya mataku yang mampu mengatakan apapun yang tersimpan dalam hati ini, termasuk rindu yang kian menjadi. Tak kusesali saat bibirku tak mampu mengatakan sepatah kata rindu padamu. Kubiarkan waktu yang akan menjelaskan betapa sakitnya aku saat ini. Waktu pun akan menjelaskan tentang rindu yang kupunya. Waktu juga akan menjelaskan betapa hebatnya diriku yang berjuang melawan rindu yang semakin meraja di dalam kalbu. Tak pernah kusalahkan keadaan, jika ia memaksaku untuk tetap menyimpan rindu ini. Kuserahkan semuanya pada Sang Penganyam Nyawa. Aku tahu, Sutradara Terbaik dalam hidupku akan memberikan kisah yang begitu menarik, yang tak pernah kuduga sebelumnya. Seperti sebuah teater, yang akan menyenangkan bila selalu kunikmati setiap jengkal adegannya. Aku percaya, akan Ia berikan akhir yang indah untuk kisahku. Pun aku percaya, akan ada akhir yang istimewa untuk rindu yang selalu kunantikan kehadirannya.

Senin, 02 Juni 2014

Itu yang Kuinginkan

Langit yang terlihat tak bersahabat membuatku enggan melihatkan semburat senyumku hari ini. Rasa lelah yang selalu hadir selalu kutepis habis-habisan. Namun kali ini aku gagal menepisnya. Bolehkah aku mengeluh pada-Mu? Ya Tuhan, kuatkan hatiku.
Malam ini terasa hambar. Tak ada canda tawa seperti kemarin. Suasana yang mencekam. Akankah hanya seperti ini yang kurasakan? Di mana lagi aku harus mencari tempat yang sunyi dan nyaman. Tempat yang selalu ku rindukan, seketika berubah menjadi tempat yang menakutkan, menjenuhkan.
Aku hanya ingin kedamaian, ketentraman. Di manakah aku bisa mendapatkan?
Aku rindu suasana kemarin, ketika kedamaian, keakraban, dan ketentraman menyelimutiku. Dengan setia menemaniku. Bisakah aku meraskaannya kembali?
Kenapa semuanya berubah? Apa ada yang salah? Sikapku? Aku berusaha untuk merubahnya, merubah semua sikapku.
Aku tak butuh belas kasihan kalian. Tapi tolong beri kenyamanan untukku. Hanya itu.