Hetalia: Axis Powers - Taiwan

Kamis, 30 Oktober 2014

Pangeran Superhero

Untuk Si Pangeran Superhero 
yang telah membuatku terbang
lalu menjatuhkanku begitu saja


           Akhir-akhir ini aku diharuskan untuk pulang larut malam. Ada yang harus kukerjakan dengan teman-temanku. Karena sebentar lagi kami dihadapkan oleh event yang membuat kami harus berlatih terus menerus. Suatu hari, tepatnya di hari Rabu, kami berlatih di tempat biasanya, aula. Namun kali ini berbeda, kami harus berbagi tempat dengan team lain yang sama-sama berlatih untuk event yang sama. Kami harus menggunakan tempat itu secara bergantian. Karena kondisi aula yang tidak begitu luas. Mau tak mau kami harus berbagi.
          Giliran team mereka yang berlatih. Sembari menunggu giliran. Kami beristirahat sejenak. Diam-diam aku memperhatikan seseorang yang sedari tadi membuat mataku ingin mengarah kepadanya. Sepertinya aku mengenal pria itu. Seperti pernah melihatnya. Ya Tuhan! Ternyata dia. Si Pangeran Superhero yang selama ini sudah tak pernah terlihat batang hidungnya karena terlalu sibuk dengan urusan kampusnya. Aku memanggilnya Pangeran Superhero karena dia jago bergulat.
          Mataku seakan tak ingin mengalihkan ke pandangan lain. Hati ini serasa berbunga. Kini ia telah kembali. Sosok yang selama ini kugakumi kini telah ada di depan mata dengan keadaan yang berbeda. Dulu ia terlihat agak kurus tanpa kumis. Kini ia menjadi sosok dengan tubuh yang kekar, badan sedikit berisi, kulit yang dulunya putih menjadi sedikit kecoklatan dan kini dengan kumis tipisnya yang memberi kesan lebih dewasa.
          Kau kini menjadi seorang pengampu drama musikal. Ternyata selain lihai bergulat kau juga pandai bermain dalam acting. Tiba-tiba ada sebuah petikan jari yang membuat lamunanku buyar.  
          "Hayo! lagi ngliatin siapa sih sampai segitunya." tanya Bintang
          "Oh ng-gaak kok." jawabku terbata-bata karena kepergok sedang menatap seseorang. 
          "Ah yang bener?" godanya. 
          "Eh Tang aku mau tanya, itu Mas Bram bukan?" tanyaku memastikan. 
          "Iya. Emangnya kenapa? Oh atau jangan-jangan dia ya yang dari tadi kamu liatin?"
          "Apaan sih kamu. Enggak kok." dalihku dengan muka merah menahan malu.
          "Udah deh nggak usah bohong. Kebaca tuh dari wajah kamu. Kita udah temenan berapa lama sih kayak aku nggak tau kamu aja. Apalagi kalau kamu lagi kasmaran. Paling bisa aku baca."
          "Iya ya deh aku ngaku. Tapi nggak usah keras-keras kenapa sih ntar yang lain tahu bisa berabe."
          "Aku panggilin langsung orangnya aja ya." 
          "Jangan! Aku malu, Tang." 
          "Udah nggak papa. Mas Braaaaaaaam!" teriaknya.
          Seketika pria yang bernama Bram (Si Pangeran Superhero) itu menoleh ke arah Bintang.
          "Tu kan Bintang." keluhku seraya menunduk.
          "Kenapa sih? Lagian aku mau salaman kok sama Mas Bram nggak mau bilangin yang kamu bilang tadi. Idih GR banget. Hahaha." ledeknya.Kepalaku menunduk menahan malu.
                                                                                       **** 
          "Boring nih, main TOD yuk." ajak Gita.
          "Boleh, ayok."
          Permainan TOD pun dimulai. sebenarnya aku kurang minat karena nantinya yang kena akan dikerjain habis-habisan. Entah pertanyaan-pertanyaannyalah, tangtangan-tantangannyalah. Kualihkan pandanganku ke Si Pangeran Superhero itu lagi. Dia terlihat gagah. Dia sangat lihai dalam menari. Sangat luwes. Walaupun gerakan dance modern yang sangat sederhana dia bisa menari dengan lincah.      
          "Khem... khem.. Ngliatin siapa sih non? Asik banget kayaknya. Sampai didehemin beberapa kali nggak denger." tanya Gita penasaran. 
          "Itu lho ngliatin si Mas Bram." 
          "Apaan sih Tang. Aku udah bilang kan jangan bilang ke siapa-siapa. Ini nih jeleknya kamu nggak bisa dipercaya jaga omongan." kataku sedikit berbisik ke telinga Bintang. 
          "Ciye Zaza. Aku kenal lho Za. Apa mau tak bilangin ke Mas Bram kalau kamu suka." ledek Gita.
          "Udah deh ngledeknya. Aku cuma sekedar fans kok. Nggak lebih." jawabku dengan tampang cemberut. 
          "Suka juga nggak papa kali. Dia juga habis putus tuh dari pacarnya."
          "Masak?" tanyaku spontanitas.
          "Tu kan kamu penasaran. Udahlah kalau emang suka nggak usah pakai acara bilang cuma sebagai secret admirer segala. Udah ya ngliatnya lanjut ke TODnya aja. Oke non?"
          "Iya deh. Tapi aku ke belakang dulu ya sama Bintang."
          "Oke."
          Permainan TOD dilanjut. Kini giliran Vanny yang kena.
          "Ayok dek mau milih  jujur apa tantangan?" tanya Gita.
          "Tantangan aja deh, Mbak."
          "Oke. Berhubung Si Zaza lagi ke kamar mandi. Aku kasih tantangan kamu buat bilang suka ke Mas yang itu (nunjuk ke Mas Bram)."
          "Lho Mbak." 
          "Bentar belum selesai. Jadi nanti akhir-akhirnya kamu kasih embel-embel gini 'itu yang bilang Mbak Zaza Mas aku cuma nyampein.' gitu ya?"
          "Oh yaya. Siap-siap."
          Tanpa sepengetahuanku mereka merencanakan sesuatu. Dan tantangn dari temen-temen berhasil dilakukan oleh Vanny, si adek kelas. Tapi sebelum Vanny selesai melakukan tantangannya aku sudah kembali lagi. Dan seketika aku melihat Vanny berbicara dengan Mas Bram seraya menunjukku.
          "Kenapa sih si Vanny?" tanyaku heran.
          "Ada deh." jawab mereka kompak.
          "Wah ada yang nggak beres nih. Ada apa sih?"
Dengan wajah tak tahu apa-apa aku menghampiri Vanny dan bertanya. 
          "Kamu habis ngapain sih? Kok tadi waktu ngobrol sama Mas Bram nunjuk aku?"
          "Emmm apa ya?" jawabnya ragu.
          "Tolong kasih tahu."
          "Tapi jangan marah ya Mbak. Soalnya tadi aku dikasih tantangan jadi ya tinggal tak laksanain."
          "Iya deh. Cepetan."
          "Tadi aku dikasih tantangan buat bilang ke Mas Bram kalo aku suka ke Mas Bram tapi embel-embelnya dikasih gini 'ini dari Mbak Zaza, Mas.' gitu Mbak sama aku sebut ciri-ciri Mbak Zaza."
          "Kenapa harus dikasih tau aku yang mana. Kan dia jadi tau aku kan."
          "Maaf deh Mbak." pintanya karena merasa bersalah.
          "Ya Allah. Pada jahat banget sih." protesku teriak ke mereka.
          "Ampun Za. Kan cuma bercanda." jawab mereka.
          "Bercanda apaan coba? Nggak lucu tau nggak."
          "Ya deh Za maafin kita. Eh eh liat tuh Mas Bram jadi ngliat kesini mulu." kata Bintang.
Sontan aku langsung menengok. Benar kata Bintang. Si Pangeran Superhero itu sesekali melihat ke arahku. Entah penasaran mana yang namanya Zaza atau memang ada ketertarikan aku tak tahu. Yang jelas dia sempat melihat ke arahku. Segaris senyum terlihat di wajahku.
          "Aduh ada yang seneng nih diliatin sama si doi." goda mereka.
          "Apaan sih. Udah yuk latihan lagian mereka juga udah selesai kok."    
          Giliran kami yang berlatih. Jujur pada saat giliran kami berlatih aku sedikit tak berkonsentrasi. Karena kejadian tadi membuatku harus sedikit bersembunyi agar Si Pangeran Superhero itu tak tahu mana yang bernama Zaza. Kalau sampai tahu bisa berabe nanti. 
          Bintang mendekatiku. Ia mengatakan bahwa sedari tadi Mas Bram sesekali memperhatikanku. Mencuri-curi pandang. Semakin membuatku tak berkonsentrasi dalam latihan. 
          "Nggak ada salahnya ya tadi Vanny bilang ke Mas Bram. Jadinya sekarang cintamu terbalaskan Za. Hihihi."
          "Belum tentu juga kali Tang. Siapa tahu dia penasaran. Mana sih yang namanya Zaza mungkin gitu pikirnya."
          "Kalo aku lihat-lihat enggak kok. Dia udah tahu kamu. Secara tadi Vanny juga udah ngasih tau kamu yang mana. Ciyeee Zaza jadi nggak konsen deh latihannya."
          "Udah ah. Lanjut lagi yuk latihannya udah ditunggu sama temen-temen tuh."
          Selesai sudah latihan kami. Kami bersiap-siap untuk pulang. Seperti biasa sebelum pulang kami selalu berkumpul dahulu membahas untuk latihan berikutnya lagi sekalian evaluasi keslaahan tadi. Saat aku sedang prepare untuk pulang Bintang memanggilku.
          "Za mau ikut nggak?" "Kemana?" tanyaku.
          "Ke Mas Bram aku mau pamitan dulu.Yuk ikut." godanya.
          "Enggak deh makasih."
          "Ah yang bener? Nyesel lho entar."
          "Nggak kok."
          Sewaktu Bintang ingin pergi ada seorang wanita masuk dari luar aula. Wanita itu asing bagi kami. Seketika mata kami tertuju pada wanita itu. Bertanya-tanya siapakah dia? Ada perlu apa dia kemari. Tak lama pertanyaan kami semua terjawab. Perlahan-lahan dia mendekati Mas Bram. Lalu mereka bercakap-cakap. Terlihat akrab.
          "Za jangan cemburu lho ya. Itu mungkin temennya Mas Bram."
          "Ngomong apa sih kamu. Enggaklah."
          Ya memang tak bisa kupingkiri tiba-tiba hati ini merasa nyeri. Sakit sakit dan sakit. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa. Karena tak ada hubungan apapun aku dengan Mas Bram. Aku memang mengenalnya. Namun dia belum mengenalku.
          Kutepis jauh-jauh perasaan itu. Berpikir positif. Mungkin benar yang dikatakan Bintang bahwa perempuan itu hanya temannya saja. 
          Dugaan itu ternyata salah. Kini firasatku benar. Bahwa wanita itu bukan hanya sekedar teman tapi lebih. Jelas. Karena tanpa dia mengatakan bahwa wanita itu kekasihnya aku sudah tau dari sikapnya yang menggandeng tangan wanita tersebut. Ya Tuhan! Perasaan apa ini? Kenapa terasa sakit saat melihat dia bersama orang lain? Apa benar aku hanya sekedar kagum? Kenapa bisa perasaanku berlebihan seperti ini jika memang aku hanya mengaguminya?
          "Sabar ya Za." kata mereka menghiburku.
          "Enggak papalah kan aku juga sebagai pengagum nggak lebih:')" jawabku berbohong.
          Mungkin mulut bisa berbohong tapi hatiku tak bisa mengelak bahwa ternyata aku menyukainya. Lagi-lagi harus kupendam perasaan ini sendirian tanpa sempat terbalaskan. Mungkin ini yang terbaik menjadi seorang penggemar rahasia selamanya.



Dari penggemar rahasiamu
yang hanya bisa mendoakanmu dari jauh
yang hanya bisa memendam perasaan ini
sendiri
Terimakasih telah mengizinkanku menyukaimu
tak mengapa walau kau tak sempat membalasnya

Kamis, 24 Juli 2014

Takdirkah atau Hanya kebetulan?

          Kenalin nama gue Freya. Gue duduk di bangku kelas dua SMA. Katanya masa-masa SMA itu masa-masa yang mengasyikkan, penuh dengan kenangan yang nggak bakal terlupakan. Yang jelas karena masa SMA itu identik dengan cerita cinta anak remaja. Tapi sampai saat ini pun gue belum ngrasain masa-masa itu. Gue udah terlalu nyaman dengan dunia gue. Boleh dibilang gue nggak terlalu mikirin hal itu. Gue lebih suka menghabiskan waktu gue sama temen-temen gue. Emang sih kadang-kadang ngrasa iri sama mereka yang bisa ngrasain masa-masa itu. Masa-masa cinta monyet, katanya. Tapi rasa iri itu hanya hinggap dalam sekejap. Nggak terlalu lama berdiam diri di benak gue. Tapi bukan berarti gue nggak pernah ngrasain yang namanya suka sama seseorang. Gue manusia yang normal. Gue juga pernah ngrasain gimana cinta pertama gue yang bahkan sampai saat ini rasa gue masih bertahan walaupun gak terbalaskan, tapi lebih tepatnya belum terbalaskan. Karena gue tipikal orang yang nggak mau gembor-gembor tentang apa yang gue rasain. Gue lebih suka jadi pemuja rahasia. Walaupun sedikit menyiksa. Jadi alasan itulah mungkin dia, orang yang gue suka nggak pernah tahu ada gue di sini yang suka sama dia dengan waktu yang cukup lama.
          Cinta pada pandangan pertama. Itu yang membuat gue ngrasain gimana rasanya menyukai seseorang. Gue ketemu dia waktu SD. Saat gue kelas empat SD dan dia kelas enam SD. Ya saat itulah gue mulai suka sejak pandangan pertama. Nggak ada yang istimewa. Hanya teman lawan main dalam sebuah drama. Yang sama-sama bermain dalam sebuah drama kecil. Ya awalnya hanya sekedar rasa kagum. Karena terlalu kecil untuk seorang anak SD mulai suka sama teman lawan jenisnya. Gue kagum karena gue suka cara dia memainkan peran. Walaupun nggak sehebat temen-temennya tapi menurut gue dia udah termasuk jago. Gimana nggak jago? Kita dikasih waktu tiga minggu untuk menghafalkan naskah yang lumayan tebel. Nggak hanya menghafal naskah, tapi juga bermain peran dengan baik. Menghayati peran tersebut, menguasai panggung, harus bisa berinteraksi dengan penonton.Itu semua harus kita kuasai dalam waktu tiga minggu. Yang membuat gue semakin kagum, dalam waktu satu minggu dia bisa hafal luar kepala dialog peran yang dia mainkan. Dan dia juga berhasil menghayati peran tersebut. Luar biasa menurut gue.
          Dalam drama tersebut gue dapet peran sebagai salah satu tokoh pewayangan jawa. Dia dapet peran sebagai salah satu pahlawan super yang namanya diplesetkan. Dari situlah kedekatan kita mulai terbentuk. Gue mulai ngrasa nyaman sama dia. Sampai-sampai kita kayak kakak adik Gue terbiasa manggil dia abang. Kalo gue butuh bantuan dia selalu ada buat gue. Begitu sebaliknya. 
           Kedekatan itu mulai merenggang disaat akan dilaksanakannya ujian nasional. Gue bisa ngertiin dia. Karena sebelumnya dia pernah bilang ke gue.
           "Abang minta maaf kalo nanti waktu kamu butuh bantuan, abang gak bisa setiap saat bantuin kamu. Kamu kan tau sebentar lagi abang ada ujian nasional."
           "Iya gakpapa. Semangat ya, Bang."
           Ujian Nasional telah berlangsung. Kita mulai jarang bareng lagi. Karena dia udah vacum dalam bermain drama. Secara, dia udah lulus. Gue masih harus melanjutkan dua tahun lagi buat lulus. Setelah kelulusan itu gue nggak pernah lagi denger kabar dari dia. 
           Waktu zaman gue SD belum kenal yang namanya handphone. Lagian buat gue barang itu belum terlalu penting. Buat menghubungi orangtua gue saat gue minta jemput sekolah? Gak perlu. Karena udah ada jemputan dari sekolah yang setia mengantar dan menjemput gue sekolah. Tapi ada juga temen gue yang bawa handphone, salah satunya sahabat gue. Dia juga tahu gue sempet deket sama abang gue itu (abang ketemu gede). Dia sempet bilang ke gue
           "Kenapa kamu nggak coba buat menghubungi dia, sms atau telfon gitu?"
           "SMS? Telfon? Handphone aja nggak punya. Lagian kalo punya pun aku nggak punya nomer hpnya."
           "Ya minta dong."
           "Mana sempet kepikiran kayak gitu. Handphone aja nggak punya."
           Gue nyerah. Karena gue juga udah berusaha cari info tentang dia. Lagian gue ngrasa, rasa suka gue hanya sebatas kagum. Nggak lebih.
            Masa-masa SD gue berakhir sudah. Kini seragam merah putih pun tergantikan oleh biru putih. Ya, sekarang gue jadi anak SMP, bukan lagi anak SD. Masa Orientasi Siswa yang melelahkan, menjengkelkan, mengasyikkan akhirnya berakhir sudah. Saatnya untuk pulang. Waktu gue melewati ruang kelas sembilan kayak ada yang ngikutin gue di belakang. Entah ngikutin gue atau nggak gue nggak tahu Yang jelas ada yang jalan di belakang gue. Karena gue penasaran, gue nengok ke belakang. Betapa terjekutnya gue. Ternyata orang yang selama ini gue cari-cari satu sekolah lagi sama gue waktu SMP. Apa respon guew aktu ketemu dia? Gue ngrasa seneng, gembira, rasanya gue pengen lari meluk dia. Tapi itu nggak mungkin. Jantung gue sontak berdetak nggak beraturan. Rona wajah gue pun berubah seketika. Sayangnya dia nggak ngliat gue. Walaupun dia di belakang gue tapi jarak kita lumayan jauh. Entah kebetulan atau gimana gue nggak ngerti. Nggak masalah dia nggak ngliat gue. Yang penting gue sekarang bisa lihat dia lagi. Tapi lagi-lagi setiap kali kita bertemu kita akan berpisah. Gue cuma bisa pasrah. Ternyata selama ini gue nggak cuma kagum. Lebih tepatnya ada rasa suka yang terselip di antara kekaguman itu. Tapi gue nggak bisa apa-apa.
             Terakhir kali gue ketemu dia waktu gue pulang sekolah. Setiap gue pulang pasti nglewatin SMA dia. Dan kebetulan waktu itu kita dipertemukan di waktu yang nggak gue duga. Di dalam angkot. Gue baru tahu juga kalo dia sekarang SMAnya di situ. Gue bingung mau nyapa apa dan gimana. Akhirnya cuma sebaris senyum yang gue kasih ke dia. Nggak ada percakapan sama sekali. Sampai dia yang membuka duluan sebuah percakapan.
            "Baru pulang, Dek?"
            "Iya Mas. Barusan pulang juga?" jawabku terbata-bata. Karena bingung harus pake panggilan mas atau bang, yang akhirnya kata mas yang gue keluarin.
            "Iya. Kok sore banget Dek?"
            "Iya soalnya ada kumpul OSIS tadi."
            "Oh gitu."
            "Mas sendiri? Kok baru pulang?"
            "Iya ada latihan paskib tadi."
            "Oh."
            Percakapan kami hanya terhenti sampai di situ. Setelah itu kami saling membisu. 
            "Duluan ya Dek."
            "Oh ya Mas."
            "Hati-hati di jalan"
            "Iya Mas. Kamu juga"
            Itu percakapan kami terakhir.
            Sekarang gue kelas satu SMA dan dia kelas tiga SMA. Lagi-lagi kita dipertemukan di sekolah yang sama. Ya kita satu SMA lagi. Jarak usia kita terpaut dua tahun. Mungkin karena itu setiap gue memulai sekolah baru dia meninggalkan sekolah yang lama. Gue sempat berpikiran jelek. Menyalahkan takdir yang Tuhan berikan. Kenapa kita harus terpaut dua tahun sih. Coba kalo kita terpaut satu tahun aja pasti gue bisa punya waktu untuk dekat sama dia. Tapi pikiran jelek itu cepet-cepet gue enyahin dari otak gue. Gue nggak bisa nyalahin Tuhan. Tuhan yang lebih ngerti dari gue. Kalo gue dan dia terpaut satu tahun belum tentu kita dipertemukan. Dan mungkin saat ini bukan waktu yang tepat buat kita ketemu. Gue juga nggak ngerti semua ini takdirkah atau hanya kebetulan? Hanya Tuhan yang tahu. Gue cuma minta sama Tuhan kalo gue dan dia dipertemukan lagi kelak. Semoga bukan lagi seperti saat ini dan kemaren-kemaren. Yang setiap kali dipertemukan kita bakal pisah lagi. Gue percaya rencana Tuhan akan lebih indah dari yang kita inginkan. Semoga. 

Rabu, 23 Juli 2014

Untuk Si Pahlawan Jawa, Suparman:)


         Tuhan entah kenapa perasaan ini berubah seketika setiap melihat dia ada di dekatku. Jantung ini berhenti seketika. Gugup. Senang. Malu. Perasaan itu bercampur aduk menjadi satu. Tuhan apa benar aku jatuh cinta? Atau hanya sekedar rasa suka yang hinggap begitu saja dan akan hilang dengan sendirinya?
Rasa senang yang dengan begitu saja muncul ketika aku tahu dia ada di dekatku. Dengan spontan aku mendekat dan menyapanya "hai". Dia pun membalasnya tanpa ragu. Sapaan itu berlangsung jabat tangan, dan darimana asalnya tanganku dan tangannya kini bersentuhan. Dan kedua tangan kita berayun-ayun. Ayunan ke depan dan ke belakang. Hingga kami tak sadar bahwa banyak yang menyaksikan kami.
        Aku baru sadar ternyata dari SD sampai SMA pun kami satu sekolah. Ya SD kami adalah SD swasta di sekitar tempat tinggal kami. Kami memang saling mengenal, saling tahu satu sama lain. Kami juga sempat dekat waktu aku kelas 3 dan dia kelas 5. Kedekatan itu karena kita pernah beradu akting dalam satu drama yang mengharuskan kita menjadi lawan main. Aku menjadi tokoh pewayangan dan dia menjadi pahlawan yang namanya diplesetkan ke dalam bahasa jawa. Dari situlah kita mulai dekat. Namun kedekatan itu terputus karena dia masuk SMP dan aku masih duduk dikelas 5 SD.
        Awalnya aku tak menyangka bahwa kita berada dalam satu sekolah yang sama lagi di SMP. Aku baru sadar saat aku akan pulang sekolah. Aku melihat dia. Aku familiar terhadap wajahnya. Sepertinya aku mengenalnya. Kulihat nama yang tertera di dada sebelah kirinya. Benar dugaanku bahwa itu dia. Sangat senang. Itulah perasaan yang kurasakan saat itu. Akhirnya kita dipertemukan lagi. Sayangnya setiap kali kita dipertemukan setiap itulah kita akan terpisah lagi. Ya aku baru saja masuk ke sekolah itu. Dan dia akan lulus. Kenapa selalu begitu?
        Dua tahun, waktu yang cukup lama. Setelah selama itu kita tak pernah bertemu, Tuhan mempertemukan kita lagi. Aku bertemu dia waktu aku naik angkutan. Aku memakai seragam biru putihku dan kamu memakai seragam putih-putihmu. Canggung rasanya ingin membuka percakapan terlebih dahulu. Hanya sebaris senyum yang kuberikan kepadanya. Tak sia-sia. Dia pun membalasnya. Senyum yang manis. Akhirnya dia yang memulai pembicaraan
        "Baru pulang dek?" tanyanya malu-malu.
        "Iya mas. Baru pulang juga?"
        "Iya."
        Percakapan itu terus berlanjut hingga dia turun dari angkutan umum. Perasaan ini masih sama. Gugup, senang, malu, bingung, canggung. Tak berubah sama sekali.
        Siapa sangka jika aku diterima di sekolah yang sama dengannya lagi? Bosankah? Tidak sama sekali. Justru rasa senang yang hinggap di hatiku. Lagi-lagi waktu terasa begitu singkat. Aku baru saja masuk dia akan lulus. Kenapa? Setiap kali bertemu maka kami akan berpisah. Mungkin memang ini jalannya. Aku hanya bisa berdoa jika suatu saat nanti kita dipertemukan lagi dan setiap pertemuan kita akan berpisah, Tuhan aku ingin di waktu yang sempit itu izinkan kami bertemu dan menghabiskan waktu kami yang singkat ini agar kami dapat membuat momen yang tak terlupakan untuk kami. Semoga.

Dari penggemar setiamu wahai Suparman
sekaligus lawan mainmu dalam sebuah drama 6tahun lalu.

Jumat, 20 Juni 2014

Hai Tuan Si Pemain Keyboard

Hari ini Tuhan mempertemukan kita lagi. Setelah tiga tahun tak bertemu. Ada yang berubah darimu. Postur tubuhmu kini agak gemukan. Namun tak terlalu gemuk. Kau terlihat tampan. Rambut juga terlihat rapi. Tak seperti dulu. Rambut acak-acakan. Postur tubuh yang terlalu cungkring seperti kurang gizi. Pakaian yang semrawut. Namun sekarang, kau terlihat berwibawa. Postur tubuhmu kini sudah berisi. Rambut tertata rapi. Pakaian seperti orang kantoran. Aku lebih suka gayamu sekarang.
Awalnya aku tak terlalu memperhatikanmu. Sempat aku merasa pangling dengan raut wajahmu. Namun setelah aku lirik beberapa kali, sepertinya aku familiar dengan wajah itu. Sepertinya kita pernah bertemu. Ya, ternyata kamu.
Entah kenapa perasaan ini jadi berubah setelah tahu kalau itu benar kau. Seketika hati ini berbunga-bunga. Seperti sesorang yang telah kehilangan sesuatu yang berharga dan dia menemukannya lagi. Dan seketika itu pula aku berusaha mencuri-curi pandangmu. Entah kau tahu atau tidak aku tak peduli. Aku merasa senang karena bisa bertemu denganmu lagi. Ada yang berbeda di hati ini.
Entah hanya perasaanku saja yang merasakan atau kau juga merasakan, sepertinya kau juga sempat mencuri pandang sedikit kepadaku. Apa benar? Sepertinya begitu. Apa yang kau pikirkan? Apa kau mengenaliku? Apa kau pangling terhadapku? Apa kau berpikir aku banyak perubahan. Semula hanya seorang anak yang berbadan kecil kurus. Dan sekarang tumbuh menjadi dewasa dan berbadan besar. Apa itu yang ada di dalam pikiranmu? Mungkin saja. Hanya kau dan Tuhan yang tahu isi hatimu.
Apa kau ingat enam tahun yang lalu, kita sempat bertengkar konyol hanya karena kau menginginkan aku menjadi felkomender (Sang Dirijen) dalam sebuah paduan suara, dan aku menolak. Aku bilang kepadamu bahwa aku tak bisa melakukannya. Dan kamu bilang "Jangan bilang nggak bisa kalau kamu belum mencoba. Ayo lakukan!" Dengan nada yang sinis dan sedikit membentak kau berkata begitu terhadapku. Aku tak suka dibentak ataupun disinisi. Jika aku diperlakukan seperti itu maka aku akan membenci orang itu. Ya seketika itu aku sangat benci padamu. Namun apa daya, setelah lama bersama karena memang diharuskan seperti itu karena kita harus berlatih bersama, sepertinya perasaanku berubah. Perasaan benci ini berubah menjadi perasaan suka. Awalnya aku menolak hatiku agar tak menyukainya, karena pada kenyataannya aku membencinya. Mungkin benar pepatah mengatakan "Jangan terlalu membenci orang karena suatu saat nanti dialah orang yang kau cintai" Akhirnya aku menyerah dan mengakui kepada diriku sendiri bahwa memang aku menyukaimu. Kunikmati hari-hariku saat bersamamu. Mungkin kau tak pernah menyadarinya. Tapi terkadang aku merasa jijik karena penampilanmu yang membuatku risih. Penampilan yang semrawut. Namun tak bisa kupungkiri bahwa hati ini telah jatuh, jatuh kepadamu. Dan sampai saat ini pun mungkin aku masih menyukaimu. Mungkin. Yang jelas aku merasa sangat senang bisa bertemu denganmu. Aku berharap suatu saat nanti aku bisa bertemu denganmu lagi. Dan kita saling berbincang-bincang, bahkan mungkin bisa menjadi lebih akrab lagi. Semoga :).


Dari seseorang yang dulu pernah kau paksa menjadi Felkomender
(Sang Dirijen Paduan Suara) dan menjadi pertengakaran konyol.

Selasa, 10 Juni 2014

Pemuja Rahasia


Senikmat seduhan pertama yang kuberikan pada aroma kopi saat senja tiba, rindu yang selalu datang membelenggu sang waktu pun selalu aku nikmati. Tak peduli hatiku pilu menahan rindu yang kian tak menentu. Andai mengucap rindu semudah bibir mengecap gula, sudah sejak dulu aku katakan. Biarlah hatiku menampung perihnya rasa yang tak terobati, seberapapun sakitnya, tetap kurasakan keindahannya. Indah, seindah langit di ujung barat saat sang raja siang mulai hilang dilahap sang waktu. Kubiarkan rasa rindu ini menggerogoti tawaku. Sungguh, bagiku tak ada yang lebih membahagiakan daripada menikmati rindu yang selalu menghampiriku. Pun tak ada yang lebih menyakitkan daripada menahan rindu yang kupunya. Keberanianku tak pernah membawaku datang padamu, untuk sekedar mengucap rindu, meski hanya lewat senyuman di kedua mata kita, saat kita saling tatap. Karena yang kutahu, saat kedua mata kita saling beradu, bibir ini pun bibirmu tak mampu berkata apa-apa. Tangan ini pun tanganmu tak bisa berbuat apa-apa. Yang kutahu, hanya mataku yang mampu mengatakan apapun yang tersimpan dalam hati ini, termasuk rindu yang kian menjadi. Tak kusesali saat bibirku tak mampu mengatakan sepatah kata rindu padamu. Kubiarkan waktu yang akan menjelaskan betapa sakitnya aku saat ini. Waktu pun akan menjelaskan tentang rindu yang kupunya. Waktu juga akan menjelaskan betapa hebatnya diriku yang berjuang melawan rindu yang semakin meraja di dalam kalbu. Tak pernah kusalahkan keadaan, jika ia memaksaku untuk tetap menyimpan rindu ini. Kuserahkan semuanya pada Sang Penganyam Nyawa. Aku tahu, Sutradara Terbaik dalam hidupku akan memberikan kisah yang begitu menarik, yang tak pernah kuduga sebelumnya. Seperti sebuah teater, yang akan menyenangkan bila selalu kunikmati setiap jengkal adegannya. Aku percaya, akan Ia berikan akhir yang indah untuk kisahku. Pun aku percaya, akan ada akhir yang istimewa untuk rindu yang selalu kunantikan kehadirannya.

Senin, 02 Juni 2014

Itu yang Kuinginkan

Langit yang terlihat tak bersahabat membuatku enggan melihatkan semburat senyumku hari ini. Rasa lelah yang selalu hadir selalu kutepis habis-habisan. Namun kali ini aku gagal menepisnya. Bolehkah aku mengeluh pada-Mu? Ya Tuhan, kuatkan hatiku.
Malam ini terasa hambar. Tak ada canda tawa seperti kemarin. Suasana yang mencekam. Akankah hanya seperti ini yang kurasakan? Di mana lagi aku harus mencari tempat yang sunyi dan nyaman. Tempat yang selalu ku rindukan, seketika berubah menjadi tempat yang menakutkan, menjenuhkan.
Aku hanya ingin kedamaian, ketentraman. Di manakah aku bisa mendapatkan?
Aku rindu suasana kemarin, ketika kedamaian, keakraban, dan ketentraman menyelimutiku. Dengan setia menemaniku. Bisakah aku meraskaannya kembali?
Kenapa semuanya berubah? Apa ada yang salah? Sikapku? Aku berusaha untuk merubahnya, merubah semua sikapku.
Aku tak butuh belas kasihan kalian. Tapi tolong beri kenyamanan untukku. Hanya itu.

Selasa, 15 April 2014

Cinta Tak Harus Memiliki

         Tuan malam ini (20:57) saya mengecek pembaruan terbaru di bbm saya. Saya melihat anda sedang mengganti PM anda "Bisa melihatmu saja saya sudah cukup senang :)". Sebenarnya untuk siapa? Untuk saya/dia? Saya tak pernah mengerti setiap PM ataupun status di sosmed yang anda buat. Saya juga tak pernah mengerti bagaimana perasaan anda yang sebenarnya terhadap saya. Tak pernah ada kejelasan darimu, Tuan. Jujur saya rindu Tuan. Namun saya hanya bisa merindukan Tuan secara diam-diam. Saya tak berani mengatakan kepada Tuan. Karena saya tahu bahwa saya tak berhak mengatakan itu. Saya bukan siapa-siapa Tuan. 
          Yang bisa saya lakukan hanyalah selalu mencari kabar lewat sosmed anda. Saya pengecut. Karena tak pernah menanyakan langsung kepada anda. Saya terlalu takut Tuan. Jika harus menanyakan langsung. Ketakutan saya adalah apabila telah menanyakan kabar anda maka saya akan selalu berharap selalu mendapat bbm dari anda. Itu yang saya takutkan.
          Tuan, bisakah sekali-kali Tuan yang menanyakan kabar saya? Menanyakan kepada saya apakah saya sudah makan? Mungkin itu hanya khayalan konyol saya. Berharap yang mungkin tak akan dikabulkan, kecuali jika Tuhan berkehendak.
          Tuan saya berharap Tuan membaca semua yang saya tulis tentang Tuan. Namun sepertinya Tuan tak akan membacanya. Karena semua yang saya tulis tak menarik untukmu. Atau mungkin tulisan saya hanya kau anggap cerita-cerita komedi yang pantas kau tertawakan. Karena tulisan saya hanyalah tulisan yang membuat Tuan muak membacanya. Mungkin menurut Tuan tulisan saya tak ada artinya, tapi bagi saya semua yang saya tulis mengenai anda adalah tulisan yang sangat berarti. Semua momen terekam jelas dalam tulisan saya. Dari momen yang sepele hingga momen terindah sekalipun. Tak pernah saya lewatkan Tuan.
         Tuan saya pernah berharap bahwa saya  ingin menceritakan seseorang yang sama setiap harinya. Tuhan mengabulkan doa saya Tuan. Ya, Tuanlah yang saya ceritakan setiap harinya. Tapi mengapa hanya kisah sedih yang saya ceritakan. Kapan kisah sedih ini berakhir hingga berganti dengan kisah bahagia? Happy ending. Saya percaya Tuan bahwa semua akan indah pada waktunya. Dan saya masih setia menunggu Tuan di sini. menunggu kabar dari Tuan. Menunggu kepastian dari Tuan. Semoga Tuhan selalu memberikan kesabaran kepada saya untuk tetap menunggu Tuan. Dan saya berdoa agar suatu saat Tuan akan menyadari semua ini. Sebelum saya pergi untuk selama-lamanya. Sebelum Tuan menyesali untuk yang kesekian kalinya. Jika memang suatu saat saya tetap tak mendapatkan apa yang saya mau saya tak pernah menyesal karena telah menunggu anda. Saya akan merasa bahagia apabila Tuan bahagia. Walaupun bukan bersama saya. Tuan pernah mengatakan kepada saya, bahwa Cinta Tak Harus Memiliki. Dan Tuan juga mengatakan Cinta yang sebenarnya adalah kamu bahagia melihat orang yang kamu sayangi dan kamu cintai bahagia bersama oranglain. 
 Untuk Tuan Batang (*)
Dari mantan kekasihmu (mungkin), yang sampai saat ini masih menunggumu

Kamis, 10 April 2014

Rapuh

         Aku masih teringat kata-kata yang kau ucapkan beberapa hari yang lalu. Kata-kata yang sampai saat ini membuatku merasa semakin membencimu. Kenapa hanya janji-janji palsu yang kauberikan? Apakah kau tahu setiap malam aku merindukanmu? Apa kau juga merasakannya? Mungkin tidak. Karena kau tak pernah mau merasakannya. Apa harus kuingkatkan kata-katamu itu? Apa yang kau katakan? Kau meminta maaf kepadaku. Katamu kamu menyesal karena telah menyia-nyiakanku. Lalu kuberi kesempatan kedua untukmu. Namun kau sia-siakan semuanya. Sepertinya kata maaf dan penyesalanmu hanya ucapan yang tak ada artinya. Kau juga katakan bahwa kau menyukaiku. Aku juga mengatakan hal yang sama. Lalu kau menjawab "Mungkin sekarang kamu masih menyayangiku Dek. Tapi entah beberapa tahun lagi apakah perasaan itu masih untukku atau tidak :(" Itulah jawabanmu. Dengan menyelipkan emot yang sok sedih. Lalu aku menjawab "Saya akan berusaha mempertahankan perasaan saya untuk anda Mas. Saya juga takut, nantinya justru anda yang meninggalkan saya. Mungkin saat ini perasaan itu masih untuk saya. Tapi entah beberapa tahun lagi apakah perasaan itu masih untuk saya atau tidak." Lalu apa jawaban darimu? Kau tak menjawab. Kamu membisu. Lalu sekarang siapa yang masih bertahan dengan perasaan suka itu? Aku atau kamu? Aku lelah dengan semua rayuan busukmu. Aku lelah Tuan. Jika harus selalu menunggu ketidakpastianmu.
         Iya Tuan aku masih terlalu kecil untuk tahu apa itu "Cinta". Mungkin kamu masih menganggap bahwa aku seperti anak kecil. Yang mudah dipermainkan. Yang mudah dibohongi. Ya Tuan aku memang anak kecil. Tapi aku juga punya hati. Hatiku bukan terbuat dari baja Tuan. Apabila dibentur akan tetap kuat. Bukan seperti itu. Hatiku juga bisa rapuh jika selalu kau sakiti. Saya hancur Tuan. Hancur. Sangat hancur. Anda selalu bersenang-senang di sana. Sedangkan saya? Di sini menangis Tuan. Bukan menangis mengeluarkan airmata di luar. Tapi menangis dalam hati.
         Kau pamerkan foto anda bersama wanita lain. Kau buat status yang membuat hati saya tercabik-cabik. Apa anda hanya membuat sensasi? Agar saya menanyakan foto dan status anda? Maaf Tuan, hati saya memang tercabik-cabik, tapi saya tak akan menanyakan lagi. Terserah anda Tuan. Saya tak akan perduli lagi. Saya sudah terlalu lelah dengan permainan anda. Terimakasih Tuan, anda telah berhasil untuk yang kedua kalinya menghancurkan hati saya.
Dari seorang anak kecil yang belum tahu tentang "Cinta"
tapi ingin merasakan indahnya dicintai
Untuk Tuan Batang (*)
Yang selalu membuat saya menunggu