Senikmat
seduhan pertama yang kuberikan pada aroma kopi saat senja tiba, rindu yang
selalu datang membelenggu sang waktu pun selalu aku nikmati. Tak peduli hatiku
pilu menahan rindu yang kian tak menentu. Andai mengucap rindu semudah bibir
mengecap gula, sudah sejak dulu aku katakan. Biarlah hatiku menampung perihnya
rasa yang tak terobati, seberapapun sakitnya, tetap kurasakan keindahannya.
Indah, seindah langit di ujung barat saat sang raja siang mulai hilang dilahap
sang waktu. Kubiarkan rasa rindu ini menggerogoti tawaku. Sungguh, bagiku tak
ada yang lebih membahagiakan daripada menikmati rindu yang selalu
menghampiriku. Pun tak ada yang lebih menyakitkan daripada menahan rindu yang
kupunya. Keberanianku tak pernah membawaku datang padamu, untuk sekedar
mengucap rindu, meski hanya lewat senyuman di kedua mata kita, saat kita saling
tatap. Karena yang kutahu, saat kedua mata kita saling beradu, bibir ini pun
bibirmu tak mampu berkata apa-apa. Tangan ini pun tanganmu tak bisa berbuat
apa-apa. Yang kutahu, hanya mataku yang mampu mengatakan apapun yang tersimpan
dalam hati ini, termasuk rindu yang kian menjadi. Tak kusesali saat bibirku tak
mampu mengatakan sepatah kata rindu padamu. Kubiarkan waktu yang akan
menjelaskan betapa sakitnya aku saat ini. Waktu pun akan menjelaskan tentang
rindu yang kupunya. Waktu juga akan menjelaskan betapa hebatnya diriku yang
berjuang melawan rindu yang semakin meraja di dalam kalbu. Tak pernah
kusalahkan keadaan, jika ia memaksaku untuk tetap menyimpan rindu ini.
Kuserahkan semuanya pada Sang Penganyam Nyawa. Aku tahu, Sutradara Terbaik
dalam hidupku akan memberikan kisah yang begitu menarik, yang tak pernah kuduga
sebelumnya. Seperti sebuah teater, yang akan menyenangkan bila selalu kunikmati
setiap jengkal adegannya. Aku percaya, akan Ia berikan akhir yang indah untuk
kisahku. Pun aku percaya, akan ada akhir yang istimewa untuk rindu
yang selalu kunantikan kehadirannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar